Yalamae Kalingga, Baby 1.0

Dulu tidak pernah terpikir bagi saya untuk jadi seorang istri. Pernikahan yang berhasil ditunda hingga hampir tujuh tahun hubungan kami, berlangsung dramatis tapi terlihat lancar. Tanpa proses lamaran, apalagi pingitan. Saya sebagai pengantin, mempersiapkan pernikahan kami dengan memesan undangan secara online, mengirim draft undangan via email, lalu melakukan fitting pakaian resepsi, memesan pakaian ijab ke penjahit, dan memesan catering, dalam waktu tiga hari.

Saat ijab kabul, rasanya ingin lari karena terlalu aneh rasanya saat membayangkan kalau setelah ini saya akan terikat dengan seorang pria. Perasaan yang tidak wajar, karena dia adalah lelaki yang hampir tanpa cela. Walau memang sangat menyebalkan. Beberapa bulan kami habiskan terpisah karena dia harus tinggal di Jakarta dan saya masih harus menyelesaikan pendidikan di Malang.

Pernikahan ini jelas bukan impian saya. Jauh dari harapan hidup bebas berdua, us against the world. Entah karena tiba-tiba suami jadi pegawai pemerintahan, atau karena kami harus tinggal di kota yang paling saya benci, Jakarta. Saat harus menyusul tinggal bersama suami di Ibukota, tanpa disadari ternyata banyak yang dikorbankan. Karir sebagai pendidik dan usaha yang sudah dirintis di Malang. Anehnya, perasaan saya terasa ringan. Tidak se-nggerundel saat harus menikah.

Tinggal di kamar kos sempit berdua pun terasa menyenangkan. Saya tidak bekerja pada orang lain. Setiap hari, selain meneruskan bisnis online saya juga mengembangkan usaha kuliner di Malang, jadi freelance writer, dan istri yang bahagia. Nyaris sempurna. Walau pasti namanya orang lain itu selalu merasa lebih tahu tentang baiknya bagaimana untuk kami berdua. Demi menyenangkan orang lain dan membuat diri terlihat lebih berguna, saya melamar pekerjaan dan mendapatkan tempat yang luar biasa. Kerja sebagai penulis, bukan pendidik seperti latar belakang pendidikan.

Belum lama bekerja, saya dikagetkan lagi dengan rejeki selanjutnya, anak. Panik, tapi bahagia, campur khawatir. Apa saya bisa jadi ibu?

Baru 9 minggu dititipkan ke rahim, janin itu memutuskan untuk menghentikan denyut jantungnya. Sekali lagi dia membuktikan kalau saya salah pernah khawatir menikahinya. Suami membuktikan kalau dia sandaran yang kokoh, sekaligus pria yang bertanggung jawab dan bisa diandalkan saat situasi terburuk. Saya bisa datang ke rumah sakit sendiri, melewati proses medis kemarin sendiri, hingga pulang sendiri. Secara fisik saya kuat, secara mental saya mumpuni. Tapi memiliki sandaran seperti dia, jauh membuat semuanya lebih mudah.

 It was my biggest broken heart. Saya lupa pernah merasa sesedih itu. Kaget, karena sampai sekarang rasanya masih sakit. Kuretase sama sekali tidak sakit. Meskipun demikian, dilatasi rahim dengan laminaria adalah proses pra-kuretase yang sangat menyakitkan. Yang jauh lebih perih, perasaan tidak terima dan pertanyaan yang tidak ada habisnya, kenapa bisa jadi begini?

Setelah kejadian itu, suami melindungi saya dari tuduhan-tuduhan dan tidak mengizinkan untuk menyalahkan sedikitpun perbuatan yang mungkin saya lakukan, sehingga anak kami tidak bertahan. Walau dia juga tidak kalah terpukul, setiap detik suami selalu mengajak saya bicara, menggoda dan menghibur dengan caranya. Beberapa hari, tempat favorit saya adalah di pelukannya. Menangis karena dada sesak.

Tragisnya, kami baru menyepakati nama anak saat dia telah tiada. Bapak dan Ibuk tidak pernah tahu apakah kamu pria atau wanita, Nak. Tapi kami sepakat, seperti dulu kami sepakat untuk membesarkan anak laki-laki atau perempuan dengan cara yang sama, namamu Yalamae Kalingga. Kami juga sepakat kalau kamu terlalu baik untuk terlahir di dunia ini. Ibuk tahu kamu tidak suka suara gemuruh petir, letupan kembang api, dan perasaanmu yang halus membuat Ibuk tidak bisa bersikap keras selama hamil. Karena itu, pasti karena alasan itu, Tuhan mengajakmu straight to heaven.

See you there, baby. Semoga Bapak dan Ibuk nanti boleh bertemu kamu walau kami sudah banyak berdosa di dunia ini.

Komentar ditutup.